Hermeneutika Hukum Menjadi Tantangan Terhadap Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 dan Pasal 22 E UUD 1945 - Alif MH - Info

Wednesday, July 16, 2025

Hermeneutika Hukum Menjadi Tantangan Terhadap Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 dan Pasal 22 E UUD 1945

 

Hermeneutika Hukum Menjadi Tantangan Terhadap Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 dan Pasal 22 E UUD 1945
Fredi Moses Ulemlem

Jakarta, AlifMH.info — Hermeneutika hukum atau penafsiran teks hukum terhadap putusan MK Nomor 135/PUU-XXII / 2024 menjadi tantangan bagi semua pihak lebih khusus bagi penyelenggara baik  KPU maupun Bawaslu mulai dari pusat sampai ke kabupaten kota dan provinsi. Karena teks hukum tidak selalu jelas atau lengkap, oleh karena itu  dibutuhkan penafsiran untuk memahami maknanya, menentukan maksud pembuatnya dan menyesuaikan dengan konteks sosial, budaya, politik serta zamannya.

Sebab putusan MK Nomor :135/ PUU-XXII/2024 bertentangan dengan pasal 22 E UUD 45 dan  menjadi pilihan menuh konstitusi bagi penyelenggara pemilu untuk melaksanakan agenda negara yang sangat penting yakni pergantian kepemimpinan secara demokrasi.

Esensi dari putusan MK 135/PUU-XXII/2024 terikat pemisahan pemilu loka dan  nasional, pemilu nasional meliputi DPR, DPD dan Presiden dan Wakil Presiden, sementara pemilu lokal adalah DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Walikota dan Wakilnya.

Bahwa putusan MK tersebut final and binding, namun prosesnya inkonstitusional Karena Kewenangan MK bukan membuat norma (Open Legal Policy)  akan tetapi kewenangan MK adalah  menguji dan membatalkan ( Negative Legislator) bukan pembuat norma (Positive Legislator).

Putusan-putusan yang dibuat seringkali menggeser fungsi Mahkamah negative Legislator menjadi positive Legislator. Teori Hans Hans Kelsen(1945) menempatkan Mahkamah Konstitusi penjaga norma, bukan sebagai pembuat norma.

Konsekuensi dari putusan MK Nomor: 135/PUU-XXII/2025 adalah adanya potensi pemotongan dan atau perpanjangan masa jabatan DPRD selama 2-2,5 tahun dan itu berpotensi melanggar pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945 "dipilih setiap 5 tahun sekali lewat pemilu".

Tapsiran baru MK soal disain jadwal adalah pemilu DPR, DPD dan Presiden mesti dilaksanakan serentak pada hari yang sama, sementara pemilu DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dan Pemilu  Gubenur, Bupati, serta Walikota mesti dilaksanakan serentak pada hari yang sama.

Adapun jarak pemungutan suara pemilu DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota pemilu Gubernur, Bupati, dan walikota dengan pemilu Nasional Nasional DPR, DPD, dan Presiden paling cepat 2 tahun sejak pelantikan DPR/DPD atau Presiden, dan paling paling 2 tahun 6 bulan  sejak pelantikan DPR/DPD dan Presiden.

Apakah kekosongan jabatan itu dapat di isi oleh  Pj dan atau Plt, sementara  Masa jabatan Penjabat (Pj), Pelaksana Tugas (Plt), dan Penjabat Sementara (Pjs) memiliki perbedaan dalam konteks pemerintahan. Pj biasanya bertugas hingga dilantiknya pejabat definitif, Pjs bertugas selama periode tertentu saat pejabat definitif berhalangan sementara, dan Plt bertugas dalam jangka waktu singkat untuk menjalankan tugas harian.

Penjabat (Pj): Ditunjuk untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah (gubernur, bupati, wali kota) hingga terpilihnya pejabat definitif yang baru, misalnya setelah masa jabatan kepala daerah berakhir dan belum ada pemilihan kepala daerah baru. Masa jabatan Pj biasanya tidak lebih dari satu tahun dan dapat diperpanjang. Sementara Pelaksana Tugas (Plt): Ditunjuk untuk menggantikan pejabat definitif yang berhalangan sementara, seperti saat cuti atau sakit. Masa jabatan Plt biasanya lebih singkat, bisa beberapa bulan saja, dan hanya untuk melaksanakan tugas rutin.

Lalu selanjutnya bagaimana dengan kekosongan yang sama di DPRD, ataukah kepala daerah dan atau  dua-duanya diperpanjang sampai dengan adanya pejabat defenitif baik kepala daerah maupun DPRD di kabupaten/kota dan Provinsi. Namun jika diperpanjang maka itu jelas-jelas melanggar konstitusi.

ا MH ]

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda