Ketum GPI Luruskan Pemahaman 'Pemerkosaan Massal' 1998: Perlu Pahami Definisi Hukum Internasional - Alif MH - Info

Friday, June 20, 2025

Ketum GPI Luruskan Pemahaman 'Pemerkosaan Massal' 1998: Perlu Pahami Definisi Hukum Internasional

Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Islam (GPI), Khoirul Amin, SH., MH.

Jakarta, AlifMH.info  Pernyataan Fadli Zon, yang saat ini menjabat sebagai Menteri Kebudayaan. Bahwa kasus pemerkosaan massal pada tahun 1998 tidak ada, telah memicu berbagai tanggapan dan kontroversi dimasyarakat.

Menyikapi hal tersebut, Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Islam (GPI), Khoirul Amin, SH., MH. Angkat bicara, bahwa masyarakat jangan cepat mengambil kesimpulan terhadap pernyataan tersebut.

“Masyarakat perlu memahami konteks di balik pernyataan tersebut, terutama merujuk pada temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) tahun 1998. Sehingga tidak cepat mengambil kesimpulan,” tegas Amin di Jakarta, Jum’at (20/06/2025).

“TGPF 1998 memang mencatat adanya kekerasan seksual selama tragedi Mei 1998. Namun, laporan TGPF tidak secara eksplisit menyatakan adanya pola sistematis yang mengarah pada kategori 'massal',” jelasnya.

Amin pun menjelaskan, bahwa dalam konteks hukum internasional, definisi 'massal' itu mensyaratkan adanya pola yang terorganisir atau adanya perintah dari otoritas atau yang memiliki kuasa untuk melakukan kekerasan tersebut.

“Jadi kata 'massal' itu apabila dilakukan secara terorganisir dan mengakibatkan korban dalam jumlah besar serta tersebar luas. Jika korbannya hanya beberapa orang, itu tidak bisa dibilang 'massal',” tandas Ketum GPI.

“Kami semua tidak menampik, bahwa pada tahun 1998 terjadi kekerasan seksual, dan saat ini pun sering kita melihat banyak pemberitaan tentang pelecehan seksual dan pemerkosaan. Akan tetapi itu tidak dapat dikategorikan 'massal',” lanjutnya.

Dosen Fakultas Hukum Unsurya tersebut juga berharap, bahwa narasi sejarah harus dibangun berdasarkan data dan temuan resmi. Bukan semata-mata berdasarkan interpretasi atau persepsi yang belum teruji kebenarannya secara hukum.

“Pernyataan Menteri Kebudayaan tersebut mestinya kita jadikan stimulus untuk diskusi yang lebih mendalam dari perspektif hukum dan sejarah. Bukan hanya asumsi yang tidak berdasar,” harapnya.

“Kita semua harus empati kepada para korban kekerasan dan pelecehan seksual, baik yang terjadi pada saat kerusuhan Mei 1998 maupun yang saat ini terjadi. Akan tetapi semua harus bersandar kepada fakta hukum,” pungkas Amin.

ا MH ] 

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda