Perang Donggo dan Perang Ngali: Dua Perlawanan Bima yang Layak Dikenang sebagai Pahlawan Nasional - Alif MH - Info

Tuesday, November 11, 2025

Perang Donggo dan Perang Ngali: Dua Perlawanan Bima yang Layak Dikenang sebagai Pahlawan Nasional


Jakarta, AlifMH.info  Di awal abad ke-20, daerah Bima (Nusa Tenggara Barat) menjadi medan perlawanan yang sengit terhadap pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Dua peristiwa konflik yang paling dikenal dan sering diperingati masyarakat setempat adalah Perang Donggo (1907–1909) dan Perang Ngali (1908–1909). Sejumlah sejarawan dan pelaku komunitas setempat menilai bahwa pejuang dari dua perlawanan ini layak mendapat pengakuan formal sebagai pahlawan nasional, karena perjuangan mereka bersifat fisik dan terang-terangan menentang dominasi kolonial.

Perang Donggo meletus sebagai respons keras masyarakat Donggo terhadap kebijakan-kebijakan Belanda yang dipandang merugikan: pemaksaan registrasi penduduk, pungutan pajak yang memberatkan, serta campur tangan dalam urusan kesukuan dan agama yang menimbulkan resistensi luas. Rangkaian bentrokan yang terjadi antara 1907 hingga 1909 tersebut tercatat sebagai salah satu episode berdarah pada masa itu, dan meninggalkan jejak kuat dalam ingatan kolektif masyarakat Donggo dan sekitarnya.

Sementara itu, Perang Ngali — yang puncaknya terjadi pada 1908–1909 — muncul dari akumulasi ketidakpuasan rakyat terhadap kehadiran dan kebijakan Belanda di wilayah Kesultanan Bima. Perlawanan di Desa Ngali ini dipicu oleh berbagai faktor, termasuk kebijakan pajak, intervensi administratif, dan kekhawatiran terhadap upaya penyebaran pengaruh agama oleh misionaris. Sumber-sumber akademik dan skripsi lokal menyebutkan bahwa Perang Ngali berlangsung intens hingga Belanda berhasil menumpas perlawanan itu pada awal 1909.

Sejumlah tulisan akademik dan skripsi terbaru menunjukkan bahwa kedua peristiwa ini bukan sekadar “kerusuhan lokal”, melainkan perlawanan terorganisir sebagai reaksi terhadap kebijakan kolonial yang merusak tatanan sosial dan ekonomi masyarakat Bima. Peneliti dan penulis di daerah serta mahasiswa yang mengangkat topik ini selama beberapa tahun terakhir kerap menegaskan pentingnya mendokumentasikan fakta lapangan—mulai latar belakang politik hingga kronologi pertempuran—sebagai bagian dari rekonstruksi sejarah lokal.

Di tingkat lokal, peringatan dan kegiatan mengenang Perang Ngali dan Perang Donggo rutin diselenggarakan komunitas, desa, dan organisasi kemasyarakatan. Acara-acara itu tidak hanya berfungsi sebagai ritual kenangan, tetapi juga sebagai medium edukasi sejarah bagi generasi muda Bima. Dari peringatan ini muncul seruan-seruan agar negara — melalui mekanisme pengakuan pahlawan nasional — mempertimbangkan pengangkatan gelar pahlawan kepada tokoh-tokoh dan kolektivitas yang berjuang pada masa tersebut.

Argumen yang diajukan pendukung pemberian gelar beragam: selain keberanian fisik melawan kekuatan kolonial, ada penekanan pada unsur pengorbanan kolektif, pembelaan atas kedaulatan lokal, dan upaya mempertahankan identitas serta tatanan sosial yang diancam intervensi eksternal. Di sisi lain, pengakuan formal—seperti penganugerahan pahlawan nasional—memerlukan verifikasi historis yang teliti, dokumentasi sumber primer, serta proses administratif yang dijalankan oleh institusi pemerintah. Hingga kini, dorongan masyarakat masih menunggu respons formal dari otoritas yang berwenang.

Sejarawan lokal menekankan pentingnya penelitian lanjutan—arsip, kesaksian lisan, dan kajian akademik—agar klaim pengakuan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan administratif. Mereka mendorong kolaborasi antara universitas, pemerintahan daerah, dan komunitas adat untuk menyusun berkas sejarah yang lengkap: kronologi peristiwa, daftar tokoh, serta bukti-bukti lain yang mendukung pengakuan jasa kemanusiaan dan kebangsaan.

Penutup: Bagi banyak warga Bima, ingatan tentang Perang Donggo dan Perang Ngali bukan sekadar catatan masa lalu, melainkan sumber identitas dan kebanggaan. Ketika wacana tentang pengakuan resmi muncul kembali, pertanyaan kunci yang diajukan adalah bagaimana negara menghargai perlawanan lokal yang jelas-jelas mengusung semangat anti-kolonialisme. Bagi komunitas setempat, pengakuan pahlawan nasional bukan hanya soal gelar—melainkan pengakuan sejarah bahwa mereka turut berjasa dalam perjuangan bangsa melawan penjajahan.

ا MH ]

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda