Muamar, SH., MH. (Pemerhati Hukum Lingkungan, Alumnus Magister Hukum Litigasi Universitas Gadjah Mada) |
Tangerang, AlifMH.info
Oleh: Muamar, SH., MH.
(Pemerhati Hukum Lingkungan, Alumnus Magister Hukum Litigasi Universitas Gadjah Mada)
Latar Belakang
Salah satu Undang-Undang yang dirubah sebagai akibat dari lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut UU CK) adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut UU PPLH). Pada kesempatan kali ini penulis akan membahas isu-isu terkait pidana di bidang lingkungan hidup.
Sebelum adanya UU CK, UU PPLH menganut asas premum remedium kecuali Pasal 100 berlaku asas ultimum remedium. Jika dikualifisir delik lingkungan terbagi menjadi delik materiil dan delik formil. Rumusan delik materiil terdapat dalam Pasal 98, 99 dan 112, sementara delik formil terdapat dalam Pasal 100-111, 113-115. Secara teoritik delik lingkungan adalah perintah dan larangan undang-undang kepada subjek hukum yang jika dilanggar diancam dengan penjatuhan sanksi-sanksi pidana, antara lain penjara dan denda, dengan tujuan untuk melindungi lingkungan hidup secara keseluruhan maupun unsur-unsur dalam lingkungan hidup seperti hutan satwa, lahan, udara dan air serta manusia (Rahmadi,2011:221).
Dengan lahirnya UU CK maka terjadi perubahan mendasar mengenai pidana lingkungan hidup yang sebelumnya dalam UU PPLH menganut asas premum remedium berubah menjadi ultimum remedium. Perubahan ini merupakan hal fundamental terkait penegakan hukum pidana lingkungan hidup.
Reorientasi Kebijakan Pidana Lingkungan Hidup
Reorientasi kebijakan pidana lingkungan hidup dalam UU CK dapat dipahami bahwa hukum pidana merupakan suatu upaya terakhir yang digunakan ketika instrumen lain tidak berfungsi dengan baik yaitu instrumen hukum hukum administrasi maupun hukum perdata. Romli Atmasasmita mengatakan bahwa hukum pidana harus ditempatkan sebagai bagian dari solusi atas masalah inefisiensi dan inefektivitas hukum pidana, sebagai sarana pembaruan dan sarana perubahan perilaku aparat penegak hukum lebih dari itu sebagai sistem nilai pada bagian ini. Pembahasan diarahkan pidana dalam masyarakat dengan menggunakan prinsip maksimisasi, efisiensi dan keseimbangan. (Atmasasmita,2018:17)
Jauh sebelum itu Jeremy Bentham telah menyatakan bahwa tujuan hukum adalah mewujudkan kebahagian sebesar mungkin bagi orang (the greatest happines of the greates number), oleh karena itu peraturan perundang-undangan harus mencapai empat tujuan yaitu to provide subsistence (untuk memberi nafkah hidup), to provide abudance (untuk memberikan makanan yang berlimpah), to provide security (untuk memberi perlindungan), to attain equality (untuk mencapai persamaan) (Ali,267-268:2002).
Sesuai dengan tujuan dari UU CK yaitu menciptakan lapangan kerja yang seluas-luasnya di tengah persaingan yang semakin kompetitif dan tuntutan globalisasi ekonomi, penggunaan instrumen hukum pidana harus ditempatkan pada tempat terakhir, apalagi jika pidana tersebut masih menganut prinsip hukum pidana klasik yang menitikberatkan pada aspek penjeraan. UU CK bidang lingkungan hidup menurut penulis menganut pandangan utilitarian dengan mengutamakan cost and benefit dengan melihat bahwa penggunaan hukum pidana bukan hanya melihat keberhasilan semata (output) namun lebih dari itu melihat pada dampak (outcome). Selain itu terdapat dua asas penting yang wajib dipahami baik dalam tataran legislasi maupun implementasi yaitu asas proporsional dan asas subsidiaritas, kedua asas ini di Jerman disebut sebagai fundamentalnormen de Rechtstaats (norma-norma dasar negara hukum), Asas yang disebut pertama mensyaratkan keseimbangan antara cara dan tujuan. Asas yang kedua menuntut bahwa jika satu persoalan memunculkan beberapa alternatif pemecahan (beberapa jalan keluar), maka harus dipilih yang paling sedikit menimbulkan kerugian (Remmelink,46:2013).
Walaupun UU CK bidang lingkungan hidup menempatkan pidana sebagai instrumen terakhir, namun aspek lingkungan hidup dan manusia tetap dipandang penting. Apabila suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang (orang perseorangan dan/atau korporasi) menyebabkan terjadi bahaya terhadap keselamatan dan kesehatan lingkungan hidup maka dapat langsung dipidana.
Tantangan Kedepan
Perubahan fundamental UU CK bidang lingkungan hidup dengan menempatkan hukum pidana sebagai instrumen terakhir (ultimum remedium) dalam penegakan hukum bisa saja kontraproduktif dengan tujuan awal yaitu sebagai instrumen untuk penciptaan lapangan kerja dan kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, hal ini dipengaruhi oleh beberapa hal, Pertama: Pasal 82 ayat (2) dan (3) UU CK berpotensi menimbulkan multitafsir ketika proses penegakan hukum.
Pasal 82 ayat (2) Setiap orang yang melakukan pelanggaran larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, yaitu:
a. melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam pasal 69 huruf a, dimana perbuatan tersebut dilakukan karena kelalaian dan tidak mengakibatkan bahaya kesehatan manusia dan/atau luka dan/atau luka berat, dan/atau matinya orang dikenai sanksi administratif dan mewajibkan kepada Penanggung Jawab perbuatan itu untuk melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup dan/atau tindakan lain yang diperlukan; atau
b. menyusun Amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 huruf i dikenai sanksi administratif.
(3) Setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang tidak sesuai dengan Perizinan Berusaha yang dimilikinya dikenai sanksi administratif.
Lalai (omissiedelict) adalah tidak melakukan atau melalaikan suatu kewajiban atau perintah (gebod) hukum. Dalam prakek bisa saja hal ini memberikan celah bagi oknum aparat penegak hukum untuk menentukan kasus-kasus tertentu lalai padahal faktual dilakukan secara sengaja. Untuk mencegah hal tersebut, menurut penulis perlu memperkuat pengawasan internal dengan membangun sistem pengendalian internal dan setiap kasus yang disidik harus dilakukan gelar perkara pada setiap tingkatan penanganan, hal lain yang dilakukan adalah meningkatkan koordinasi dengan Korwas PPNS Mabes Polri maupun dengan Kejaksaaan Agung sebagai penuntut umum.
Kedua, budaya hukum masyarakat terutama pelaku usaha masih memandang aspek pengelolaan lingkungan hidup sebagai hal yang dianggap mengurangi profit sehingga sering terjadi adanya tindakan dumping limbah tanpa izin ataupun adanya saluran IPAL siluman yang langsung dibuang ke media lingkungan. Paradigma ini harus dihilangkan karena UU CK memberikan kemudahan perizinan bagi pelaku usaha/investor. Selain itu yang harus dipahami oleh pelaku usaha bahwa keberlanjutan lingkungan hidup adalah hal yang tidak ternilai. (bersambung).